Dear
Ayah dan Ibu…
Ayah, Ibu aku tahu engkau berharap banyak kepadaku.
Engkau berharap aku bisa mengangkat drajatmu.
Entah mengangkat drajat dimana. Akhiratkah atau duniakah? Tentu yang
kalian maksud pasti keduanya. Ayah, Ibu jika boleh jujur, hari-hariku penuh
dengan ketakutan. Yaa ketakutan akan masa depanku. Aku takut kelak
mengecewakanmu. Di rumah aku tidak banyak bicara, tidak pernah menceritakan
keluh kesah selayaknya teman-temanku bercerita kepada orangtuanya. Bukan tidak
mau, hanya saja aku takut, takut menambah beban pikiranmu. Jika tidak bisa
memberikan kebahagian kepadamu setiap harinya. Maka, cukuplah bagiku untuk
tidak menambah beban pikiranmu.
Ayah, Ibu aku tahu
sudah cukup banyak air mata yang kau tumpahkan, sakit hati yang kau rasakan.
Allah berikan ujian melalui salah satu anak laki-lakimu. Tapi, menurut penilaiaku
engkau lulus melewatinya. Aku yang setiap hari melihat tingkah laku anakmu
terhadap dirimu dan sikapmu yang lemah lembut penuh kesabaran kau balaskan
kepadanya. Memang benar kasih ibu dan Ayah sepanjang masa. Seberapa keji pun
perlakuan anakmu kepada dirimu, namun memaafkan adalah pilihanmu.
Ayah, Ibu aku tahu
kekecewaan yang mendalam pernah kau rasakan bahkan mungkin saat ini masih kau
rasakan. Maka dari itu aku tidak mau memberikan kekecewaan untuk kesekian kalinya.
Jika saat ini masih kau rasakan kekecewaan itu, maka kelak doakan aku agar bisa
menghapusnya dan mengubahnya menjadi suatu kebanggaan.
Ayah, Ibu jika kau
telah banyak mendengar tentang diriku. Entah baik atau buruknya. Percayalah,
aku tidak seburuk apa yang mereka katakan dan tidak pula sebaik apa yang mereka
beritakan. Aku hanya seorang anak perempuan yang mencoba berhijrah, berproses
menuju predikat shalihah. Terkadang aku merasa jenuh ketika melewati proses
itu. Meresa tidak berguna dan merasa sia-sia. Merasa tidak ada hasil dalam
suatu proses yang aku lewati. Tapi sekarang aku sadar, hasil memang tidak
sepenuhnya dirasakan oleh diri. Tapi perubahan yang dirasakan oleh pemerhati
tentunya Allahu Robbi yang mengetahui akhir dari prosesku nanti. Aku yakin
Allah maha adil..
Ayah, Ibu aku tak
secerdas temanku yang pandai berorasi. Aku hanya seorang anak perempuan yang
pendiam tidak banyak bicara. Di sekolah aku tak seberani mereka. Ketika
seseorang menyapa, aku hanya bisa tersenyum. Bukan bisu hanya saja memang
pembawaanku seperti itu. Aku tahu engkau lebih paham sifat dan sikapku. Maka
dari itu, bisa dikatakan aku memiliki
masalah dalam hal berinteraksi dan berkomunikasi. Untuk merubahnya sangat mudah
cukup berlatih. Namun, Lagi-lagi rasa
takut yang menghalangi suatu perubahan yang akan aku jalani.
Ayah, Ibu, menurut
guruku sukses itu tergantung pada attitude atau sikap. Untuk menjadi pengusaha
butuh keberanian sedangkan aku tidak punya itu. Untuk menjadi seorang guru
butuh percaya diri dan cerdas tidak hanya mampu mengisi soal, lagi-lagi untuk
hal itu aku tidak punya. Jika di bilang bodoh, aku tidak bodoh aku termasuk
siswa berprestasi di kelas hanya saja aku tidak berani, kurang percaya diri dan
satu hal yang menghalangi yaitu rasa takut, takut hal yang aku lakukan salah.
Tapi, Ayah, Ibu aku
percaya semua itu akan terkalahkan dengan doa yang selalu engkau panjatkan.
Sepenakut apa pun aku, seburuk apa pun attitude yang ku miliki dan sudah
berusaha semampuku untuk merubahnya. Aku yakin jika engkau meridhoi aku sukses,
maka Allah pun begitu. Bagi Allah kun fayakun, jadilah, maka jadilah.. “Ridho
Allah tergantung pada ridho orangtua dan murka Allah tergantung pada murka
orantua” Maka Ayah, Ibu begitu mulianya engkau sehingga dalam kalimat indah
yang berasal dari Allah dirimu selalu disandingkan dengan-Nya.
Ayah, Ibu doakan aku
agar kelak sukses dunia dan akhirat. Kini hanya doamu yang membuatku semakin
yakin.. Sukses melalui jalan manapun asalkan Allah ridho, orangtua ridho, suatu
kesuksessan yang aku senangi dan tentunya bermanfaat bagi umat. J
aamiin..